Kaji Potensi Lumpur Lapindo, UPT Kementan Kerjasama Dengan Unesa
Seni Pertanian - Semburan Lumpur Lapindo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti hingga saat ini. Fenomena alam yang bermula pada 29 Mei 2006 lalu itu menggemparkan Indonesia hingga mancanegara. Aliran lumpur panas yang menenggelamkan desa-desa dan merenggut mata pencaharian masyarakat itu meninggalkan luka mendalam bagi warga Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur Lapindo tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan dampak sosial ekonomi, tapi juga korban jiwa. Bencana ini diperkirakan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, hingga kira-kira lebih dari 30 tahun. Para pakar geologi menyebutnya sebagai fenomena gunung lumpur (mud volcano) yang berkaitan dengan aktivitas vulkanisme.
Banyak penelitian telah dikembangkan sejak itu, terutama tentang bagaimana memanfaatkan potensi besar lumpur yang dihasilkan dalam tanggul penahan yang saat ini ketinggiannya mencapai 11 meter, dengan luasan sekitar 640 hektar.
Awal tahun 2025 ini telah dilakukan kajian awal tentang pemanfaatan lumpur Lapindo sebagai media tanam oleh Widyaiswara Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan selaku UPT dibawah Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) bekerja sama dengan Universitas Surabaya (Unesa) Jurusan Biologi.
Dari hasil pengujian sampel lumpur Lapindo murni diketahui kandungan bahan organiknya 5.64%, karbon (C) 3.28%, nitrogen (N) 0.105%, dan rasio C/N sebesar 31.24, dengan tekstur dominan liat berdebu (50% liat, 43% debu, 7% pasir). Rasio C/N yang tergolong dalam kategori tinggi ini mengindikasikan bahwa proses dekomposisi bahan organik berlangsung lambat, karena mikroorganisme tanah memerlukan nitrogen tambahan untuk menguraikan bahan organik yang kaya C. Kandungan fosforus pentaoksida (P2O5) dalam sampel sebesar 17,87 ppm termasuk pada kategori tinggi. Fosfor (P) yang terdapat dalam bahan tanah sebelum proses pembentukan tanah dan pertumbuhan tanaman umumnya tidak dapat diserap oleh tanaman.
Lumpur Lapindo diuji potensinya sebagai media pertanaman, dicampur konsistensinya dengan tanah regosol. Kompos tanaman Azolla microphylla dan mikroorganisme pendukung pertumbuhan dalam bentuk pupuk hayati, ditambahkan sebagai tambahan perlakuan.
Tanaman kedelai yang digunakan sebagai model diamati pertumbuhannya hingga fase generatif. Hasil pengkajian menunjukkan adanya pengaruh pada parameter yang berbeda dari pemberian kompos Azolla microphylla dan pupuk hayati terhadap pertumbuhan tanaman kedelai pada fase vegetatif dan generatif, yaitu waktu berbunga dan tinggi tanaman. Media lumpur Lapindo 30% yang ditambahkan dengan kombinasi 300 gram Azolla microphylla dan 150 ml pupuk hayati, memberikan hasil tertinggi pada tinggi tanaman, jumlah daun, biomassa basah tanaman, dan waktu berbunga. Sementara kombinasi 200 gram kompos Azolla microphylla dan 150 ml pupuk hayati memberikan hasil tertinggi pada ukuran panjang akar, biomassa basah bintil akar aktif, jumlah polong, biomassa polong.
Kajian lebih lanjut tentang kombinasi pupuk organik terhadap produktivitas tanaman sampai keamanan produk yang dihasilkan diperlukan untuk mengetahui potensi lumpur Lapindo sebagai media produksi tanaman. Dengan begitu, tidak hanya masalah lingkungan yang teratasi, tapi juga produksi pangan.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Idha Widi Arsanti mengatakan pentingnya inovasi dan pemanfaatan teknologi dalam mendukung program utama Kementerian Pertanian (Kementan).
“Dengan didukung inovasi dan pemanfaatan teknologi, saya yakin target utama Kementan dalam meningkatkan produksi sekaligus mengantisipasi darurat pangan akan tercapai,” ujar Santi.
Belum ada Komentar untuk "Kaji Potensi Lumpur Lapindo, UPT Kementan Kerjasama Dengan Unesa"
Posting Komentar